AI dan Kemanusiaan

AI (artificial intelligence) kalau dalam Bahasa Indonesia kurang lebih berarti "kecerdasan buatan". Kecerdasan yang secara natural dimiliki manusia coba untuk diimplementasikan pada mesin (wujud fisiknya bisa berupa komputer atau robot). Pernah lihat film Star Wars ? Yah kira-kira seperti karakter-karakter droid atau humanoid : Artoo-Detoo (R2-D2) atau C-3PO. Mereka itu benda mati tapi memiliki kecerdasan. Kalau ditanya menjawab, kalau diberi perintah menjalankan, kalau diajak berteman pun menyenangkan. Ya tentu saja sesuai spek si robot. Pada awalnya hanya khayalan namun secara bertahap telah menjelma jadi kenyataan. 

AI merupakan bidang yang selalu penuh kejutan, telah berkembang signifikan dan menakjubkan. Kita tentu saja ingat atau setidaknya pernah mendengar bahwa di era tahun 90-an dilakukan pertandingan catur yang sensasional antara juara dunia catur Garry Kasparov melawan superkomputer karya IBM yang bernama Deep Blue. Manusia melawan mesin, ciptaannya sendiri. Hasilnya ? Pada pertandingan pertama Kasparov selaku wakil manusia menang dengan skor 4-2. Namun, saat dilakukan rematch (pertandingan kedua) si superkomputer mampu membalaskan kekalahan dengan meraih kemenangan gemilang, Deep Blue unggul 3,5-2,5. Inilah untuk pertama kalinya juara dunia catur dikalahkan oleh sebuah komputer dalam pertandingan resmi. Wow banget bukan ? Itu kondisi 30 tahun yang lalu lho, sudah jadul banget tapi aura canggihnya tetap kental. Lalu bagaimana pula sekarang ? Sepertinya sudah tidak ada lagi peluang bagi manusia untuk mengalahkan mesin yang dibuatnya sendiri (sekelas Deep Blue tentunya) dalam sebuah pertandingan catur.


Pada awalnya AI diterapkan secara spesifik untuk tugas atau solusi tertentu. Satu tugas satu jenis algoritma (yaitu logika pemrograman komputer). AI tidak bisa berfikir secara general (umum)). Tentu saja hal ini sangat jauh dengan kemampuan kecerdasan manusia yang mampu berfikir secara umum maupun spesifik dan bahkan kompleks. Namun dalam perkembangannya para peneliti di bidang AI telah menemukan metode-metode untuk mengembangkan AI agar mampu "berfikir" secara lebih kompleks dengan teknik-teknik seperti : heuristics (misalnya algoritma Dijkstra untuk proses pencarian), machine learning (mesin dapat belajar sendiri dari data) dan neural network (model komputasi dengan meniru struktur jaringan saraf pada otak manusia). Hmmm...

Lebih lanjut teknik machine learning dan neural network di-improve lagi selama puluhan tahun menjadi teknik Deep Learning. Developer AI dapat menciptakan arsitektur yang memungkinkan sistem menciptakan algoritma sendiri berdasarkan pola data yang berbeda. Sehingga teknik ini memiliki kemampuan untuk menangkap pola-pola dengan lebih akurat dengan cakupan yang lebih luas dibandingkan teknik-teknik yang telah dikembangkan sebelumnya. Penerapannya mampu untuk melakukan pengenalan wajah, suara, gambar, teks bahkan prakiraan cuaca. Para ilmuwan AI seperti belum puas dan belum menunjukkan tanda-tanda berhenti. Bahkan lebih "gila" lagi mereka tengah menjajagi pengembangan AI ke depannya sehingga memungkinkan mesin (komputer) menjadi kreatif, bisa bermimpi dan merasakan dunia. Aduh, ngga bisa komen.....   

Lalu apa yang bisa diharapkan manusia ? AI seharusnya tetap dalam posisinya sebagai alat (tools) bagi manusia. Ia tidak dapat menggantikan peran manusia apalagi mengungguli manusia secara substantif. Ibaratnya seperti kapak dan tangan manusia. Dengan ketajamannya kapak dapat membelah kayu sedangkan tangan manusia tidak mungkin melakukan itu. Namun kita tidak bisa mengatakan bahwa kapak telah mengungguli manusia, sebab kapak baru bisa berfungsi bila diayunkan oleh tangan manusia. Contoh lain yang lebih segar adalah penggunaan ChatGPT karya OpenAI yang heboh akhir-akhir ini. Si ChatGPT akan memberikan jawaban yang kualitasnya berbanding lurus dengan kualitas pertanyaan. Jadi, kalau pertanyaannya dangkal ChatGPT juga jadi "katrok". Kalau pertanyaannya sesat, si ChatGPT juga akan sesat. Kembali lagi, man behind the gun

AI seharusnya merupakan dukungan bagi manusia dalam mengekspresikan pikiran, pengetahuan, kemauan dan kemampuan intelektualnya. AI adalah interpreter kehendak manusia. Sehingga dengan AI manusia dimudahkan dalam merealisasikan apa yang diinginkannya. Singkat kata AI adalah asisten, AI adalah co-pilot, AI adalah pembantu, tidak lebih dari itu.

Disadari atau tidak, keterbatasan AI semakin lama semakin berkurang sehingga bisa jadi akan (hampir) mencapai kinerja manusia pada (hampir) setiap tugas intelektual. Pada akhirnya, perkembangan AI tetap harus diarahkan pada sebesar-besarnya memberikan manfaat bagi ummat manusia. 

Sulit dibayangkan betapa besar kerusakan yang diciptakan bila AI disalahgunakan. Semoga saja tidak pernah terjadi.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "AI dan Kemanusiaan"

Post a Comment