Ken-Ra



Kala itu detak jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya. Kaki dan tanganku gemetar bersama dengan tubuhku, nafasku terengah-engah tak beraturan.

Aku mencari tempat aman untuk bersembunyi. Gudang terbengkalai yang usang nan gelap itu sepertinya cocok menjadi tempat persembunyianku. Preman gondrong brewokan itu lagi-lagi mengejarku tanpa henti. Tubuhnya kekar dan besar, gurat wajahnya seram, matanya menatap tajam ke setiap sudut ruangan. Siapapun yang melihatnya dalam situasi seperti itu pasti akan merasa terintimidasi.

Aku bersembunyi di celah-celah dinding dan lemari tua yang sepertinya sudah tak terpakai lagi. Lemari itu penuh dengan sarang laba-laba, lembab dan pengap. Kotoran cicak dan tikus berceceran. Belum lagi bangkai kecoak mati. Sudah kering sih, tapi tetap saja sangat menjijikkan. Namun aku menahan sekuat mungkin demi keselamatan diriku sendiri. Sejujurnya,  hal-hal yang menjijikkan seperti ini lebih kusukai daripada bertemu dengan preman sangar itu.

Hari-hari seperti ini sudah biasa bagiku. Namaku Kenzo. Aku hanya anak kampung yang selalu diintimidasi oleh lingkunganku sendiri. Ayahku wafat sejak aku berada dalam kandungan ibu. Aku anak lelaki pertama dan terakhir. Ya, aku anak tunggal. Keseharianku hanya bekerja di pasar lalu pulang. Ibuku sudah lupa ingatan. Saat bicara, nada bicara ibu tidak jelas. Seperti orang meracau dan kadang sangat lirih. Hanya aku yang mengerti apa yang beliau maksud. Gusinya yang kosong tak bergigi membuat siapapun pasti menertawakannya. Berlagak tersenyum alih-alih sedang menahan tawa saat ibuku bicara. Postur tubuhnya bungkuk, rambutnya dipenuhi warna putih, keriput menghiasi wajah sawo matangnya. Ibuku hobi mondar-mandir di depan teras rumah, namun sering kali salah masuk ke rumah orang.

Kejadian konyol itu yang membuat ibu sering dijadikan sasaran keisengan anak-anak kampung. Bahkan orang dewasa seperti preman brewokan itu juga tak mau ketinggalan menjadikan ibuku sebagai bahan olok-olokan. Sungguh menyesakkan. “Nekun” adalah nama panggilan untuk ibu, kepanjangannya “nenek pikun”. Orang-orang kampung pun juga memanggilnya “nekun”.  Kesal ? Sangat! Siapa sih yang tak marah bila ibunya diganggu dan dijadikan bahan olok-olokan ? Siapa yang tak panas hatinya bila harga diri seorang ibu diinjak-injak di depan matanya ? Namun apa daya, aku hanya anak jangkung yang pengecut. Tak berani melawan bahkan cenderung diam melihat ketidakadilan. Pecundang.

Kejadian itu tak akan pernah terulang lagi. Tidak akan! Bukan karena apa apa, tapi kejadian itu sudah sangat lama. Ibuku juga sudah meninggal sejak 2 tahun yang lalu. Semuanya sudah jadi kenangan. Kenangan yang tak mengenakkan.

Hidupku tak berwarna, hampa. Aku selalu meyakini diriku sendiri bahwa takdirku memang terlahir sebagai anak tak beruntung dari berbagai sisi. Keadaan ekonomiku tak bisa dikatakan cukup, kasta sosialku rendah, aku tak pernah sekolah, tak ada yang memperlakukan ku selayaknya “manusia”.

Namun seseorang itu hadir mewarnai hidupku, seseorang itu memperlakukanku seolah olah aku manusia paling berharga di dunia. Ia membuatku tersenyum kembali di saat manusia lainnya menganggap aku tak berhak tertawa. Satu-satunya orang yang tak memandangku sebagai orang rendahan. Satu-satunya orang yang tak merasa gengsi atau takut berteman denganku.

“Kenzo? suara itu hampir membuat jantungku copot. Spontan aku menoleh ke belakang.

“Loh Nadra? Ngapain lo disini Raa ?” tanyaku dengan mata terbelalak.

“Bukannya harusnya gue yang nanya ya ? Lo ngapain di markas gue ?” Si Nadra malah balik menatapku penuh selidik.

“Hah markas ? gudang terbengkalai gini lo bilang markas ? Hahaha ngakak bet gue”.

“Brisik lo! Keluar sana!” ngga disangka Si Nadra malah nyolot.

“Ih gitu. Jadi gue di usir nih ? Gue lagi dikejar preman. Lo mau gue mati ?”

“Preman apaan ? Ga ada siapa-siapa. Hmmm...Lo kelamaan sembunyi di sini, Ken”.

“Beneran tadi ada. Tu preman mau malakin gue Ra. udah biasa gue mah dikejar-kejar kayak anjing kudisan gini. Tiap gue pulang dari pasar gue dipalakin mulu. Dan tiap hari persembunyian gue pindah-pindah.”

“Ooh gitu...Kenapa lo ngga lawan Ken ? Tapi...sudahlah, gue tau lo tu gimana. Kalo lo butuh bantuan gue bilang aja ya Ken. Gue bakal bantu lo ngadepin tu preman.” begitu kata Nadra mantap. Si Nadra ini memang jago beladiri sih.

“Iya raa, makasih yaa...” kata-kata Nadra barusan sontak membuat keberanianku berkobar. Seolah-olah kalau preman itu ada di depan mukaku akan aku jadikan preman geprek aja. Sayangnya udah raib entah ke mana.

Hening sesaat. 

Aku dan Nadra bersebelahan sama-sama duduk bersandar tembok sambil memeluk lutut masing-masing.

“Raa..” suara serakku memecah kesunyian. 

“Hmm ?”

“Menurut lo gue bakal jadi orang sukses gak ?”

“Kenapa lo nanya gitu, Ken ? Tiap orang itu berhak sukses, termasuk lo Kenzo”

“Tapi gue ga punya siapa-siapa, Ra. Gue ga punya orang tua, ga punya saudara. Gue sebatang kara. Takdir gue kayaknya emang terlahir sebagai anak yang gak beruntung dari berbagai sisi deh, Ra. Cuma lo yang mau temenan sama gue. Gue cuma anak jangkung yang pengecut, gue gak pernah sekolah, kerjaan gue juga cuma jualan serabutan dipasar. Gue cuma anak miskin yang gak pernah dianggap dan gak pernah dihargain Ra, gue gak bakal suk…”

“Ssssttt diem! Dasar lo emang brisik, Ken. Kata-katanya jangan dilanjutin. Ada gue, Kenzo. Kalo lo emang beneran mau sukses, ya ayo! Gimana lo bisa sukses kalo otak lo masih dipenuhi pikiran kayak gitu ? Pikiran yang melemahkan diri lo sendiri. Sekarang gue tanya, apa cita-cita lo ?”

"Ya gue pengen sih kuliah di luar negeri, tapi kan ga mungkin. Umur gue aja udah 17 tahun.  Emang cukup persiapan 3 tahun dengan keadaan gue sekarang yang kayak gini ? Gue pengen banget ngerasain gimana rasanya belajar, gimana rasanya sekolah, gimana rasanya tinggal di luar negeri, gimana rasanya bergaul dengan orang luar."

"Nah tu cakep cita-cita lo. Emangnya pengen ambil jurusan apa ?"

"Gue sih pengen ambil jurusan teknologi"

"Sini ikut gue..."

Nadra menarik lenganku. Setelah dirasa betul-betul aman dari intaian preman, kami keluar dari gudang terbengkalai itu. Ia mengajakku ke perpustakaan yang berada di kota. Kami berdua naik angkutan umum. Jarak dari kampung kami ke kota lumayan juga. Setelah 30 menit menempuh perjalanan, kami sampai di perpustakaan itu.

Di perpustakaan, aku membuntuti Nadra dari belakang. Ia sibuk mencari buku yang aku butuhkan untuk masuk ke jurusan teknologi.

Momen itu menjadi inspirasi yang kuat bagiku untuk memperjuangkan cita-citaku sendiri. Akan terasa konyol jika justru orang lain yang sibuk berjuang mewujudkan apa yang aku cita-citakan tapi aku malah pasrah dan diam. Nadra mengajariku banyak hal tanpa banyak berkata-kata.

Tiga tahun bukan waktu yang singkat, setidaknya aku masih bisa persiapan sambil mencari beasiswa kuliah di luar negeri untuk anak sepertiku. Aku masih bisa belajar, aku masih bisa menambah pengalamanku, aku masih bisa mengasah skill yang kupunya, dan aku juga masih bisa bekerja. Aku gak boleh menyerah atau stop di tengah jalan, ini sudah menjadi keputusan bulat buatku. Apapun tantangan dan cobaan yang ada aku tetap tidak akan menyerah, tidak akan pernah!

***

Tak terasa 3 tahun berlalu. Jam menunjukkan pukul tujuh pagi. Jalanan di San Francisco masih sangat sepi. Beberapa orang sedang menghirup udara segar. Toko-toko masih mempersiapkan barang-barang terbaiknya, Namun fokusku teralihkan pada aroma roti yang menyentuh hidungku. Mataku tertuju pada toko yang menjual roti itu. Perutku sudah keroncongan menahan lapar. Kakiku melangkah perlahan. Penjual itu menyapaku, menanyakan roti apa yang ingin aku beli. Aku merogoh sakuku, melihat mana menu roti yang sesuai dengan seleraku dan tentu saja isi dompetku. Sandwich isi tuna dengan tambahan permesan kayaknya enak dan mengenyangkan. Aku menyerahkan beberapa lembar dollar untuk sandwich yang masih hangat itu. Penjual itu mengucapkan terimakasih, aku tersenyum lalu melangkah keluar.

San fransisco berbeda 180 derajat dengan kampungku dulu. Tidak ada anak kampung yang main di jalanan, suhu tak akan membuat kulit terbakar, tidak ada suara teriakan omelan emak-emak yang menyuruh anak mereka mandi sore atau segera masuk rumah. Aku mengencangkan syal dan jaketku. Musim dingin dengan suhu bisa di angka hanya 7 derajat celcius membuat siapapun akan menggigil kedinginan. Sungguh, aku masih tak percaya bahwa anak kampung yang "tak beruntung" sepertiku ternyata sudah kuliah di San Francisco yang berada di California, Amerika Serikat.

Sungguh! Aku sangat bersyukur. Terimakasih Ya Allah, terimakasih Nadra. Sosok yang pernah kuceritakan, sosok yang mewarnai hidupku, sosok yang membuatku bangkit dan bertahan hingga sekarang.

*****


[Karya : Qonita]

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Ken-Ra"

Post a Comment